ASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH...
WARNING!!!
Jangan lupa sholawat 3x sebelum baca rangkaian cerita PIN RINDU...😇
ALLAHUMMA SHOLLI 'ALA SAYYIDINAA MUHAMMAD WA 'ALA ALI SAYYIDINAA MUHAMMAD 3X
_____
Hmm, sedari semalam aku ingin berbagi
cerita di blog ini. Baru pagi ini aku sempat mengetikkannya. Aku ragu
mulai dari mana. Ini akan menjadi cerita pendek yang terlalu panjang (?).
Semoga kamu betah membacanya. :)_____
Kata orang dan berita di TV ataupun media lain: langit membiru dengan
indahnya, tak seperti biasa yang tertutup polusi udara; sungai-sungai bening
dengan teduhnya, tak seperti biasa yang kotor akibat limbah; udara bersih
terhirup dengan leganya; begitupun jalanan kota sepi tanpa hiruk pikuk pengendara.
Ini satu sisi indah yang menjadi bukti akan efek wabah yang sedang melanda
dunia. Eits, tapi bukan itu yang ingin aku bahas.
Oke, sekarang serius.
Setelah empat tahun menyendiri di bilik kost-an
yang amat sepi (cieelah gayaan betull, wkkw), akhirnya Ramadhan tahun ini
aku di rumah membersama keluarga. Haru... dan bukan ini juga yang mau aku
bahas, wkwkwkwk. (Ya Allah kapan aku seriusnyaa T-T)
***
Sabtu di Desember 2019, aku untuk kesekian kalinya ingin mengatakan bahwa hari Sabtu adalah hari ter-mager dalam ceritaku. Tapi Sabtu ini berbeda, ia menjelma menjadi hari sibuk yang di mana aku menghabiskan waktuku untuk berkegiatan ke luar kost-an. Hmm, bukan hari sibuk, sih, tapi hari di mana aku merasa tak punya apa-apa saat kelak menghadap-Nya.
“Kumpul di lokasi jam 07.00 ya,” kata salah satu teman.
“Iya, oke.” Jawabku yang ujung-ujungnyaaku ngechat temanku lagi buat bilang, “Aku izin telat yah, aku bakal nyampe jam 07.30, insya Allah.”
Ini kebiasaan buruk yang sayangnya aku lakukan tak henti-hentinya, entah kapan sadarnya (T-T). Please, ini buruk banget, jan pernah ditiru ya..
Aku dengan setelan serba hitam kecuali hijabku yang berwarna peach tiba di lokasi sebelum jam 07.30 dan langsung bergegas melakukan persiapan menuju mushola dekat aula tempat acara itu digelar.
Oke, aku akan menjelaskan sedikit acara seperti apa yang aku katakan tadi, yang sampai detik ini jujur aku tidak begitu paham tentangnya. Acara ini berbentuk seminar yang dibuat oleh satu keluarga Islami yang membentuk lembaga, mereka menyebut lembaga ini dengan Fitrah Based Education (FBE). Yang di mana FBE ini adalah sebuah lembaga bisnis keluarga yang visinya Allah dengan jalan dakwah. Seminar FBE ini mencakup banyak hal tentang Islam. Namun, yang aku tangkap dari penjelasan seorang anak (umur 19 tahun) dari pendiri FBE ini adalah mereka fokus untuk memberi informasi kepada para orang tua muda dalam cara mendidik anak sehingga para orangtua tersebut tahu bakat anaknya sejak dini dengan landasan islam yang diharapkan mengalir deras di dada anak-anak tersebut. Selain itu, FBE juga memberikan edukasi bagaimana cara Islam mengajarkan manusia dalam berumahtangga yang akhirnya tercapai sakinah di dalamnya.
Eitss, tunggu dulu. Akan aku jelasin mengapa aku bisa ada di seminar itu. Itu bukan karena aku ingin cepat nikah, untuk menambah wawasan tentang rumah tangga, bukan sungguh bukan. Ini karena aku tidak sengaja diajak untuk menjadi salah satu panitia dalam seminar itu.
Jadi gini, dua minggu sebelum seminar, salah satu temanku tiba-tiba bertanya, ‘’Kamu suka anak-anak, gak?” Kupikir itu pertanyaan menjebak yang jika aku jawab “tidak” aku dikira perempuan aneh yang tidak punya rasa kasih sayang tapi yang sebenernya memang aku bukan tipe orang yang suka anak-anak. Jadinya terpaksa aku jawab, “Iya, aku suka.”
“Oke, kamu bisa gantiin aku buat jadi panitia FBE, gak, di bagian Kids Corner? Soalnya aku ada acara lain di tanggal itu.”
Aku mikir sebelum membalas pesan itu, sungguh sedari dulu kaga ada sayang-sayangnya pisan sama anak-anak, jurusan kuliah yang hanya menitik beratkan tegangan dan arus listrik untuk menyuplai kebutuhan listrik masyarakat tanpa ada membahas psikologi anak. Bacaanku pun sebatas novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, yang bercerita tentang Thania yang seorang pengamen kecil bertemu seseorang yang dianggapnya kakak namun dicintainya. Juga novel Pulang dan novel Pergi yang keduanya bercerita tentang gagahnya Bujang dengan misi-misi rahasia dan jet-jet pribadinya. Ketiga novel itu adalah karya Tere Liye, dan sekarang aku diminta untuk mengajak anak-anak bermain seperti layaknya taman bermain PAUD.
“Apa aku bisa mengajari dan bermain bersama mereka?”.
Akhirnya aku menjawab, “Ya, aku insya Allah bisa.” Lagi-lagi terpaksa. Jawaban yang juga bermodalkan rasa penasaran akan pengalaman yang intinya tetep terpaksa, maafkeun. (T-T)
Balik lagi. Setelah melakukan persiapan, aku menuju mushola di mana stand kids corner ditentukan. Di sana aku bertemu seorang ibu yang sedang menyuapi kornet goreng dan nasi putih kepada seorang gadis kecil. Aku menyapa mereka. Ibunya ramah sekali, ia langsung memperkenalkan diri kepadaku yang masih kikuk dengan suasana itu. Bu Katrin, namanya, bersama seorang gadis kecil yang kira-kira berumur 2.5 tahun menatapku ambigu. Aku berusaha tersenyum ramah kepada gadis kecil itu dengan sesekali mengajaknya bermain dan bercanda. Sungguh tak mudah, hopeless yang ada. (T-T)
Aku berpikir, apa keputusanku mengiyakan ajakan itu salah? Apa aku bisa berhasil bermain dengan mereka? Sungguh, aku sudah tak punya kepercaayaan terhadap diri sendiri lagi saat gadis kecil itu tak sekalipun tersenyum membalas senyuman dan ajakan-ajakanku.
Gadis kecil itu memiliki mata nan indah dilengkapi alis tebal rapih tertata. Rambutnya lurus sebahu, efek ikal di bagian dalam rambutnya membuatnya semakin lucu menurutku. Kala itu dia memakai kaos dan celana putih bersih sebersih kulitnya, pipinya gembul bak dua bakpau imut dengan efek kemerah-merahan seperti diberi rona blush on milik gadis remaja, hahahhaah.. Aku tersenyum saat menggambarkannya kepadamu, pembaca. Aku sangat merinduinya. :"(
Aku kembali fokus kepada tujuanku datang sebagai panitia kids corner. Aku harus mengajak anak-anak yang dititipkan para orang tua yang mengikuti seminar untuk bermain yang secara tak langsung mengajari mereka belajar suatu hal baru. Aku mengajak mereka menggambar, menyusun balok kayu mini, bermain masak-masakan (dengan miniatur peralatan memasak) mulai dari masak pizza, burger, dan sayur lodeh yang aku seakan-akan aku menjadi pelanggan mereka, serta kubacakan cerita bergambar di kala mereka memintanya.
Aku memperhatikan beberapa anak di sana, mereka membuatku tertegun. Anak yang pertama adalah Khaula, dia waktu itu katanya ingin mendengar kisah nabi, dan Bu Katrin memutarkan kisah nabi Musa alaihissalam di Youtube tapi anehnya dia sama sekali tidak menatap layar handphone itu. Dia hanya mendengar dengan seksama sambil terus memberi respon ke Bu Katrin bahwa dia mendengar dengan baik detail kisah yang sedang diputarkan. Sebelum makan disuapi Bu Katrin pun ia selalu ingat untuk membaca basmalah. Juga saat melihat apa yang ada di buku-buku cerita bergambar yang saat itu dia takjub melihat suatu hal di sana, spontan dia berkata “masya Allah” dan saat Bu Katrin nanya, “Kok dede ga pake hijab? Hijab dede mana? Kan biar samaan sama mbak Syofiya,”
“Hijab dede tadi ada di mobil, Bu Katrin. Dede lupa bawanya,” jawabnya dengan polosnya.
Tak tanggung-tanggung, aku malu degan diriku sendiri. Kalimatku yang tak pernah seindah kalimat gadis kecil itu, sikapku tak pernah sehalus sikap gadis kecil itu yang jujur aku belum pernah melihat anak kecil seumurannya se-sholehah itu. (T-T)
“Aku bukan apa-apa”, batinku. MasyaaAllah, Allah Maha Baik mempertemukanku dengannya.
Anak yang kedua adalah Diva, gadis kecil berumur 3 tahun. Aku sedang menceritakan cerita bergambar dan aku ingin melihat respon mereka dengan meminta mereka menceritakan hal apa yang paling mereka sukai. Diva mulai bercerita dengan semangat yang tergambar dari matanya, “Aku suka sekali saat aku dibeliin sepeda, sepedanya berwarna pink, warna kesukaanku,’’ katanya.
“Hmm, bagus, sepedanya dibeliin sama siapa, Diva?” Tanyaku.
“Sepedanya dibeliin sama Allah, kak.” Jawabnya.
Oke, saat jawaban itu keluar dari bibir gadis kecil satu ini, aku ingin meraung sejadi-jadinya. Aku takjub dan tertegun untuk kesekian kalinya “Kenapa mereka se-sholehah itu di umur se-dini ini, aku yang telah 20 tahun hidup tak pernah berucap akan kekuasaan Allah,” batinku lagi.
Seraya memperhatikan mereka bermain, aku berbincang dengan Bu Katrin (pengasuh Khaula) tentang banyak hal, mulai dari perjalanan Bu Katrin yang dari Yogyakarta menuju tempat seminar yang diadakan di Pusat Studi Jepang, UI, Depok, sampai aku curhat tentang rasa canggungku saat mulai bermain bersama anak-anak. Beliau dengan lembutnya menjelaskan segala hal yang aku ingin bincangkan dengannya.
Beliau juga banyak cerita tentang gadis kecil yang memiliki nama lengkap Khaula Alesya Rahman yang memiliki paras yang amat cantik itu. Gadis kecil itu adalah anak pertama dari sepasang dokter muda yang tinggalnya di Yogyakarta, mereka telah mengikuti seminar ini jauh sebelum aku bergabung jadi panitia di FBE. “Tapi ada hal yang menarik , neng Pia. Di rumah Khaula, dia biasa mendengar murotal Al-Quran dan kalau Khaula pengen denger kisah-kisah nabi, mama sama papanya gak ngebolehin Khaula buat liat handphone, Khaula Cuma boleh denger. Dan neng Pia tau? Khaula punya banyak buku kisah nabi dan cerita-cerita Islami di rumahnya,” bisik Bu Katrin kepadaku seraya ia menyuapi buah mangga kepada gadis kecil itu.
“Hmm dan ada satu lagi, ibu kan suka ya lagu Minang yang judulnya ‘Pulanglah Uda’ dan koplo Jawa. Nah, waktu itu kedengeran sama papanya Khaula saat ibu muter lagu itu di kamarnya ibu, papanya langsung negor ibu dengan sopan buat dengerin murotal yang diputer di rumah itu aja, Papa Khaula baik banget, neng Pia,” sambungnya lagi. Aku mengangguk paham dan merasakan kekosongan dalam hatiku, sungguh.
Hari itu aku merasa hatiku lebam dipukuli kenyataan melalui kedua gadis kecil itu. Aku yang awalnya bertujuan untuk bermain seraya mengajari mereka suatu hal baru tetapi aku yang malah diajari mereka banyak hal yang selama ini rancu. Terima kasih untuk kepolosanmu gadis-gadis kecil yang berhasil menghancurkan hatiku dan kembali merekatkannya dengan utuh.
Setelah hari itu, Ujian Akhir Semester III menyapaku, kuselesaikan semuanya dengan baik, alhamdulillah. Libur semester pun dimulai. Aku kembali menginjakkan kaki di tanah Andalas kesayanganku sembari membawa speaker USB mini berisi memori murotal Al-Quran yang sebelumnya kubeli saat prepare untuk pulang yang sengaja kuperuntukkan untuk keponakanku, agar dia bisa mendengar murotal Al-Quran di setiap waktunya. Sekarang umur keponakanku 1.5 tahun, dan kini ia suka sekali dengan lantunan-lantunan Al-Quran, itu yang kuharap akan begitu seterusnya.
Oh iya, aku mengetikkan ini semua di tengah penumpukan-penumpukan yang ada,
penumpukan tugas dari dosen (karena PJJ doang ini), juga penumpukan pekerjaan
rumah, penumpukan ide-ide yang tak kunjung tertulis, penumpukan lemak dan yang
paling penting adalah penumpukan rindu (cieelah, bukan bukan, ini cuma
guyonan).
Yang paling penting dari segala yang penting adalah penumpukan tanda tanya akan visi hidup. Tujuan apa yang harus aku capai sebenarnya?
Duapuluh tahun kebelakang aku gencar-gencarnya membuat list kehidupan “ini harus kucapai, itu harus kudapat” tanpa berpikir aku harus apa agar cara aku hidup dan cara aku mencapai list-list itu di ridhoi-Nya yang sejatinya kuharapkan akan membawaku ke tujuan itu (Allah). Aku dari dulu juga dilema, aku sebagai hamba-Nya dituntut untuk menyeimbangkan kehidupan dunia dan perbekalan akhirat. Yang aku bingung, kenyataannya kegiatan dunia yang super padat yang di mana pagi sampai malam, waktu diisi dengan belajar dan berkegiatan yang mendukung pembelajaran bagi siswa dan mahasiswa, pagi sampai senja menyapa diisi dengan kegiatan bertani bagi para petani dan berbagai profesi lainnya, sementara kita cuma memiliki waktu beberapa jam untuk melakukan bekal akhirat.
Pertanyaannya, “bagaimana bisa aku mencapai tujuan itu sementara persentase kegiatan di kenyataannya lebih berat kepada kehidupan dunia???”
Tapi Islam menjawab dengan begitu menyejukkan dada, hanya dengan
“bismillah” atau hanya dengan dengan niat yang indah semua kegiatan dunia yang
dilakukan dengan ikhlas berubah ibadah, hanya dengan takut akan Allah sehingga
meninggalkan keburukan saat berkegiatan dunia berubah ibadah. Masya Allah, Allah Maha Baik seperti
yang dikatakan gadis kecil imut, Khaula yang kukenal.
Sungguh, pesanku kepada pembaca yang tak sengaja membaca blog ini, jika
kamu tidak berkenan membagikan blog pendek yang terlalu panjang ini di media
sosialmu, tak apa. Tapi, aku harap kamu memperdengarkan murotal Al-Quran kepada
orang terdekatmu. Jika tidak memungkinkan, cukup perdengarkan murotal itu
kepada anak-anak kecil di sekitarmu, biarkan otak mereka berkembang dengan
lantunan Al-Quran. Berikan mereka kesempatan untuk menjadi pemimpin yang amanah
dan yang kelak dapat menjadi teladan bukan
pemimpin yang sakit yang semuanya disikat. Berikan mereka kesempatan memperbaiki peradaban, Aamiin ya Allah~
Aku juga membandingkan tingkat fokusku saat mendengarkan murotal dengan mendengar lagu-lagu kesukaanku saat berhadapan dengan tugas-tugas kuliah. Saat murotalan aku dituntun untuk fokus dengan apa yang aku kerjaan ibarat kata ada yang ngomong gini, “kamu itu harus ngelarin tugas ini dengan cepat dan tepat, jangan mikirin dia mulu. Orang dia kaga mikirin kamu, dasar jomblo! Kamu tu harus lebih berguna, tau ga?” /(nyesek T-T)/ Itu hanya guyonan, oke? Yang sebenarnya adalah aku merasa fokus ke target saat murotalan, kamu tak perlu percaya aku, cukup cobakan saja. Yang udah nyoba duluan sebelum aku, alhamdulilah.
Dan masalah visi dan persepsi hidup, masih belum terlambat untuk merevisinya. :)
_____
Salam hangat untuk pembaca,
Dari Pin Rindu...
SHOLAWAT 3X UNTUK PENUTUP..YEYY😇 :)
_____
Salam hangat untuk pembaca,
Dari Pin Rindu...
SHOLAWAT 3X UNTUK PENUTUP..YEYY😇 :)
Cerita Pendek yang Terlalu Panjang
Reviewed by Kikiropiya
on
May 11, 2020
Rating:
MāsyāAllah 👍
ReplyDeleteTabarakallaah
DeleteKerenn
ReplyDeleteAamiin
DeleteAamiin
DeleteMasya Allah. Unii, terima kasih untuk tulisan jupa baca selagi menunggu adzan maghrib ini. Semangat terus untuk unii dalam menulis! Ditunggu cerita-cerita berikutnyaa
ReplyDeleteMakasi juga udah bacaaa:D
DeleteWalaikumussalam..
ReplyDeleteHahaha aku dah tunggu-tunggu nih..
Semangat ya..
Aku kan selalu baca..
Keren habis.
🤗🤗🤗 makasi atas semangatnya...
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSolawat mulu tapi masih suka lempar batu. Masuk surga kaga masuk neraka iya. Demi masa Sesungguhnya manusia dalam kerugian.
ReplyDeleteYang penting usaha dulu pak, ehhehe
DeleteSubhanaAllah ,
ReplyDeleteterimakasih cerita pengalaman penulis yang lebih kurangnya kembali mencambuk hati pembaca untuk lebih ingat laagi kepada ALLAH Subhana Wata'ala.
terus berkarya perempuan yang cuma anak Listrik yaang tau aakan hanya tegangan dan arus, yg jauh dari anak2.
Hahahahhaha, makasi bang, Aamiin
ReplyDeleteHahahahhaha, makasi bang, Aamiin
ReplyDeleteMasyaaAllah
ReplyDeleteKetika dunia kukejar, Allah berikan hasil yang tidak maksimal. Tapi ketika Allah aku utamakan, hadiahnya datang dari cara yang tak terduga. Semangat nulisnya lagi pia
ReplyDeleteMasyaaAllah bener banget 😭
DeleteKeren diksinya sama kek orang nya :D
ReplyDeleteAsik, alhamdulillah semoga diksinya lebih tepat dan ngena lagi, tp orgnya mah ga ada apa2nya bang:D
DeleteAsik, alhamdulillah semoga diksinya lebih tepat dan ngena lagi, tp orgnya mah ga ada apa2nya bang:D
Delete